Mengawali tulisan ini, saya ingin mengatakan:
“bukanlah seorang pemuda yang berkata bahwa inilah bapakku, akan tetapi pemuda
itu adalah yang berani berkata inilah aku” (sabda rasul).
Tidak diragukan lagi bahwa pemuda
memiliki peran sentral dalam gerak kemajuan suatu bangsa. Sudah sejak dahulu hingga
sekarang pemuda menjadi pilar kebangkitan, dan pemuda merupakan rahasia kekuatan
kekuatanya. Seperti pernyataan yang telah diucapkan oleh Presiden RI pertama
IR. Soekarno sebagai tokoh nasionalis yang menyatakan bahwa “berikan kepadaku
seratus orang tua akan kugoncangkan Indonesia, dan berikan kepadaku sepuluh
pemuda saja akan kugoncangkan dunia”. Menjadi pembenaran urgensitas peran pemuda
dalam sebuah kebangkitan. Pernyataan
tersebut memberikan pemahaman dan keyakinan bahwa pada hakikatnya masa depan
suatu bangsa terletak pada tangan pemudanya.
Perjalanan suatu bangsa dalam konteks peradaban tidak mungkin bisa lepas dari lakon gerakan pemuda. Gerakan pemuda dimanapun di dunia ini sangat menentukan kemajuan suatu bangsa, karena apabila suatu bangsa memiliki generasi muda yang berkepribadian luhur, mempunyai kualitas iman dan ilmu, maka bangsa inilah dimasa yang akan datang memegang kendali dan bukan tidak mungkin akan menguasai peradaban.
Mahasiswa sebagai simbol dari
kehidupan pemuda, dengan corak kebudayaan yang otonom dengan sendirinya akan
membedakan dirinya dengan masyarakat lainnya. Mahasiswa adalah kelompok lapisan
masyarakat yang dalam jajaran stratifikasi sosial memiliki kelas khusus. Kalau
diperbincangkan, senantiasa menjadi tema menarik dan aktual. Betapa tidak,
ketika orang menyentuh sebuah pergerakan transformasi sosial, maka sadar atau
tidak, langsung berkorelasi dengan dinamika kehidupan mahasiswa, sehingga dalam
konteks kesejarahan setiap perubahan yang terjadi pada setiap negara dibelahan
dunia yang berorientasi pada perbaikan, mahasiswa terdokumentasi dengan tinta
emas. Dari kondisi tersebut, maka sangatlah pantas jika dikemudian hari
mahasiswa mendapat sanjungan heroik: “mahasiswa adalah hati nurani masyarakat,
mahasiswa adalah pemimpin dimasa yang akan datang, dan sebagainya. Sehingga
mungkin tidak berlebihan kalau dikatakan : “mahasiswa ibarat dewa penyelamat”
yang berjasadkan kebenaran, keadilan dan kejujuran.
Simbol kemahasiswaan yang
melekat pada dirinya akan membawa ciri khas tersendiri untuk tampil di
tengah-tengah masyarakat. Hal ini terjadi karena dalam diri mahasiswa akan
dilekatkan berbagai stigma. Mahasiswa yang kehidupan sehari-harinya diplorkan
pada lingkungan kampus perguruan tinggi bukan semata-mata membawa amanah dan
misi individualis, akan tetapi lebih dari itu mahasiswa menjadi tumpuan harapan
berjuta-juta orang diluar dirinya. Hal inilah yang menempatkan mahasiswa dalam
kerangka Piramida Maslow dalam posisi yang ideal dimana mahasiswa tersebut
menjadi penjembatan atas aspirasi dari kaum akar rumput (masyarakat bawah)
dengan penentu kebijakan yaitu kaum elitis.
Oleh karena itu, jelas bahwa keberadaan mahasiswa di sebuah perguruan
tinggi mengemban tanggung jawab sosial dari masyarakat. Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah seperti apa tanggungjawab yang harus diemban oleh mahasiswa?
Posisi seorang mahasiswa
seperti dalam Piramida Maslow yang telah saya kemukakan di atas sangat
strategis untuk dimanfaatkan, dimana mahasiswa mempunyai peluang untuk menjadi
salah satu control power terhadap kebijakan-kebijakan kaum elitis dalam
memberikan respon terhadap aspirasi masyarakat awam. Sangat dipahami bahwa
terkadang kebijakan elitis yang lahir tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Terhadap fenomena ini, mahasiwa harus muncul sebagai penjembatan dan berfungsi
sebagai social control (Kontrol sosial), Agent Of Change (Insan
Pembaharu/perubahan), dan Change Of Development. Perlu diingat bahwa tanggungjawab sosial
mahasiswa dalam mengontrol berbagai kebijakan elitis bukan hanya pada aspek
politis, akan tetapi lebih dari itu mahasiswa harus mampu mengakomodir dan
memberikan respon secara general terhadap keseluruhan peraturan dalam berbagai
aspek kehidupan.
Secara pribadi, saya
menyatakan salut kepada mahasiswa karena
senantiasa tanggap dan respek terhadap setiap kebijakan yang ada, termasuk isu
akan diberlakukannya Undang-Undang BHP di Perguruan Tinggi yang masih hangat
diperbincangkan dikalangan mahasiswa. Akan tetapi, sebenarnya selama ini ada kekeliruan mahasiswa dalam
menafsirkan peran dan fungsinya yang mengaspirasi kepentingannya selalu dalam
bentuk demonstrasi dan terkesan anarkis.
Melakukan gerakan dalam rangka pembaharuan dan perubahan kebijakan yang
sesuai dengan aspirasi masyarakat adalah
sesuatu yang sah, akan tetapi satu hal yang perlu diingat oleh mahasiswa adalah
bahwa dalam menyampaikan aspirasi harus senantiasa berdasarkan pada azas
logika, etika dan estetika.
Secara keseluruhan, tidak semua
mahasiswa bisa mengemban tanggungjawab
sosial seperti yang telah dikemukakan di atas. Penyebabnya adalah karena
karakteristik dari setiap mahasiswa itu berbeda-beda. Dalam kategorisasi
karakter mahasiswa, sekurang-kurangnya terdapat tiga jenis mahasiswa, antara
lain;
1. Mahasiswa Passifis,
adalah bentuk mahasiswa yang tidak mau peduli terhadap orang lain, cenderung
cuek dan apatis,
2. Mahasiswa Akademis, adalah mahasiswa yang menggunakan parameter keberhasilan dengan angka dan nilai (IPK) yang tinggi, selesai kuliah dengan cepat, sehingga waktunya dihabiskan untuk kuliah secara monoton tanpa menimbulkan simpati dan empati dalam dirinya terhadap orang lain dan realitas eksternal mereka. Jenis mahasiswa ini setelah menyelesaikan studinya sering disebut sebagai “sarjana karbitan” dan
2. Mahasiswa Akademis, adalah mahasiswa yang menggunakan parameter keberhasilan dengan angka dan nilai (IPK) yang tinggi, selesai kuliah dengan cepat, sehingga waktunya dihabiskan untuk kuliah secara monoton tanpa menimbulkan simpati dan empati dalam dirinya terhadap orang lain dan realitas eksternal mereka. Jenis mahasiswa ini setelah menyelesaikan studinya sering disebut sebagai “sarjana karbitan” dan
3. Mahasiswa Aktifis,
adalah mahasiswa yang kehadirannya dalam sebuah perguruan tinggi bukan
semata-mata menjadi pecundang-pecundang mata kuliah dengan akreditasi “cum
laude” akan tetapi mereka mempunyai kepedulian terhadap realitas eksternal
mereka, tanpa meninggalkan tugas utamanya sebagai mahasiswa (kuliah).
Dari ketiga karakter mahasiswa
tersebut di atas, maka sudah sangat jelas bahwa mahasiswa yang akan mampu
memegang amanah menjalankan tanggungjawab sosial adalah mereka yang termasuk
dalam komunitas mahasiswa aktifis. Hal ini disebabkan karena adanya kesadaran
mereka untuk memposisikan diri bukan semata-mata sebagai seorang egaliter yang
sangat egois terhadap status yang melekat pada dirinya sebagai mahasiswa yang harus dilayani oleh
orang tuanya dan masyarakat yang memberikan amanah kepada mereka. Akan tetapi
lebih dari itu seorang aktifis mampu memadukan antara kepentingan dirinya
sebagai aksentuasi dari amanah orang tuanya dengan realitas di luar dirinya.
Selamat Berjuang, Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar