Sabtu, 19 November 2016

Kapitalisasi Pendidikan



Dengan adanya ideologi kapitalisme sistem pendidikan telah dibentuk seperti  sistem pasar, dimana penawaran (supply) dan permintaan (demand) bertemu dan bertransaksi. Pendidikan menjadi barang dagang yang dibutuhkan (need) dan dengan posisi tersebut harga menjadi tandingan dari sebuah kebutuhan. Penyedia pendidikan dengan jaminan pemenuhan kebutuhan dapat menentukan harga yang dianggap berimbang dengan jaminan tersebut.

Maka pendidikan yang merupakan kebutuhan wajib untuk membekali diri dalam menghadapi realita hidup, diinterpretasikan melalui sekolah formal. Akibatnya adalah peserta didik diposisikan sebagai objek yang mesti dijejali dengan ilmu pengetahuan yang dipaketkan, serta mesti mengikuti segala tata aturan yang ada di sekolah, termasuk keharusan membayar uang admnistrasi sekolah. Dan tentu saja, sekolah formal yang merasa di atas angin, dengan kualitas pengajaran yang mereka punya, apalagi dengan permintaan para orang tua murid  dengan grafik pasar meningkat, cenderung untuk menaikkan pembayaran sekolah dengan berbagai kedok seperti uang pembangunan gedung dan fasilitas dll.

Kondisi seperti ini melahirkan kastanisasi pendidikan, dimana pada beberapa sekolah maju dengan uang pangkal pendaftaran yang juga tinggi dan pembayaran SPP selangit, kebanyakan dihuni oleh siswa yang orang tuanya berada pada ekonomi menengah ke atas. Sementara pada sekolah pinggiran, dengan minim fasilitas dan kebanyakan dihuni oleh siswa yang orang tuanya berada pada ekonomi menengah ke bawah. Belum lagi, jika kita singgung bagaimana rakyat miskin yang jangankan untuk menyekolahkan anaknya pada sekolah bergengsi, untuk bertahan hidup sehari-hari pun sangat sulit.
Padahal pendidikan adalah sebagai proses humanisasi (Paulo freire), bagaimana karakter seseorang dibentuk berdasar pada pengalaman dan pengetahuan yang didapatnya. Dari proses pendidikanlah kemudian nilai-nilai moral dan kepemahaman mengenai proses produksi yang menempatkan manusia sebagai pelaku. Adalah sebuah ironi ketika pendidikan sebagai proses untuk memanusiakan manusia justru mengabaikan apa yang mesti menjadi prioritasnya. Dari sana terlihat bahwa urgensi pendidikan nyatanya telah bergeser dari proses memanusiakan manusia menjadi lahan untuk  mencari untung yang mencitrakan pengabaian hak asasi manusianya.

Dalam segala bentuk kastanisasi pendidikan ini, negara punya peran vital paling tidak untuk meminimalisir adanya pengkotak-kotakan masyarakat berdasarka tingkat perekonomiannya. Apalagi negara, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “mencerdaskan kehidupan bangsa”, punya kewajiban agar pendidikan bisa dicicipi oleh semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Di sepanjang kemerdekaan Indonesia yang sudah tidak bisa dibilang muda, kiranya miris melihat fakta bahwa kastanisasi pendidikan masih tumbuh subur. Kita sudah kenyang dengan kastanisasi pendidikan pada zaman kolonial belanda, dengan adanya sekolah rakyat dan sekolah priayi. Beberapa kali pergantian sistem pendidikan, tidak berpengaruh banyak guna meminimalisir kesenjangan ini.

Terkait akan peran starategis negara, maka baru-baru ini ramai dibicarakan tentang kebijakan pemerintah sebagai pembuat kebijakan tentang standarisasi sekolah, dalam hal ini sekolah berstandar internasional. Gonjang- ganjing ini terbagi pada dua kubu, yaitu kubu yang pro dan kontra perihal diterapkannya standarisasi internasional.

Dan tentu saja tiap kubu punya argumentasi masing-masing akan hal ini. Dengan menerapkan standarisasi sekolah, akan dapat menciptakan iklim persaingan guna meningkatkan mutu pendidikan baik itu dalam iklim belajar, pemberdayaan siswa, maupun fasilitas penunjang yang mumpuni. Bacaan sementara pemerintah adalah minimnya mutu pendidikan jika diperbandingkan dengan menggunakan kacamata internasional. Ada semacam ketertinggalan yang menyebabkan Indonesia kalah bersaing dengan dunia internasional, termasuk dalam penguasaan bahasa internasional yakni bahasa inggris. Maka Icon SBI terbentuk berdasar pada penerapan bilingual sebagai medium of instruction, multimedia dalam pembelajaran di kelas, ataupun sebagai sekolah prestisius dengan jalinan kerjasama antara Indonesia dengan negara-negara anggota OECD maupun lembaga-lembaga tes/sertifikasi internasional, seperti Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, dan lain-lain. Statement ini diperkuat dengan penggunaan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar dalam sekolah SBI berdasar pada Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat 3. Dalam ketentuan ini, pemerintah didorong untuk mengembangkan satuan pendidikan yang bertaraf internasional.

Sebelum menuju SBI, proses yang dilakukan adalah akreditasi sekolahan untuk memprogramkan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Mengacu pada UU Sikdiknas No. 22 Tahun 2003 terutama pada pasal 50 ayat 3, peraturan pemerintah dalam pasal 61 ayat 1, rencana strategis pendidikan nasional tahun 2005–2009, RSBI adalah kebijakan pemerintah dengan menerapkan konsep sekolah berbasis ICT (Information Communication and Technology). Dengan alokasi dana sebesar 15 miliar termasuk dari APBD untuk setiap sekolah di daerah-daerah.

RSBI justru mengundang perdebatan karena jika dilihat dari nilai-nilainya, RSBI mengutamakan kompetisi untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah yang seharusnya membantu sekolah meningkatkan mutu pendidikan justru mendorong setiap sekolah untuk bersaing satu sama lain. Padahal, dari nilai-nilai Pancasila tidak disebutkan kata-kata persaingan, yang ada yaitu nilai-nilai kerja sama dan kebersamaan. Seolah-olah sekolah harus bersaing untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dalam kompetisi skala besar, meniscayakan adanya usaha-usaha pencapaian dan siapa yang dapat menjamin jika usaha yang dilakukan bukanlah usaha simbolik yang non substansi pendidikan.

Permasalahan mendasar dari RSBI terletak pada pemberian ruang yang lebar bagi kemungkinan terjadinya kapitalisasi pendidikan di setiap penyelenggaraannya, karena, RSBI mendorong kastanisasi dan antidemokrasi. 

RSBI justru mendorong konsep privatisasi pendidikan semata-mata karena anggaran minim dari pemerintah. Untuk menjawab masalah anggaran, pemerintah justru dorong privatisasi pendidikan melalui RSBI. (Source : Kompas, Senin, 21 Juni 2010 | 04:41 WI)
Dengan perangkat pendidikan yang terbilang mahal akan berimplikasi pada mahalnya biaya untuk menjadi salah satu peserta didik. Argumentasinya adalah untuk menutupi kekurangan anggaran dan penambahan fasilitas penunjang pendidikan yang memiliki standar tinggi dengan jaminan kualitas. Sehingga, setiap manusia yang diwajibkan oleh pemerintah agar wajib sekolah sembilan tahun, namun, terkendala oleh biaya yang mencekik tidak mampu untuk bersekolah di semua sekolahan-jika semua sekolahan yang ada di Indonesia berhasil mencapai SBI. Pemerintah mewajibkan semua orang untuk bersekolah, namun kebijakan pemerintah sendiri jika dilirik dalam jangka panjang berkesan kontradiktif.

Bercermin dari SBI di Malaysia, bahwa SBI bukanlah pilihan yang tepat. Malaysia terbukti gagal dengan SBI-nya. Pemerintah Indonesia tidak juga mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain tersebut. Permasalah dari SBI itu sendiri adalah, standar mana yang bisa dikatakan sebagai standar Internasional ? sedangkan negara lain punya satandarnya masing-masing, karena, selama ini memang tidak ada kurikulum pendidikan yang dibahas oleh semua negara untuk dapat dijadikan standar Internasional.
Jika dihayati secara hikmat dengan bertitik tolak dari hakikat keberadaan Negara yaitu, “melindungi setiap hak asasi manusia” . Serta amanat dalam pembukaan UUD 1945 yaitu “…ikut mencerdaskan kehidupan bangsa...”, adalah sebuah ironi jika dihadapkan pada kondisi pendidikan di Indonesia pada saat ini. Pendidikan adalah hak asasi manusia untuk memperolehnya. Kebijakan yang memberikan celah untuk terjadinya kastanisasi dan pengkotak-kotakan antara yang kaya dan yang miskin dalam hal kelayakan mendapatkan pendidikan dari pihak penyelenggara pendidikan adalah perampasan terhadap hak setiap orang untuk memperoleh pendidikan itu sendiri.

Pada akhirnya dalam proses pendidikan hal terpenting bukan pada simetrisasi antara kualitas predikat output dari sebuah lembaga sekolah dan dana logis yang sepadan, tetapi, permasalahannya ada pada keberpihakan terhadap yang benar-benar tidak mampu. Kualitas tidak perlu mengakreditasikan dirinya sebagai sesuatu yang memiliki standart tinggi, tetapi bukti kongkrit untuk sebuah kesejahteraan. Ini lah budaya kulit yang dikampanyekan oleh kapitalisme. Sedangkan dilain pihak mindset yang selama ini terbangun adalah, masih banyak orang berpendidikan formal yang “menganggur” sehingga, orang yang tidak punya biaya untuk pendidikan akan lebih memilih bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk apa sebuah predikat, jika hanya melahirkan kesempatan bagi kapitalis dan komersialis untuk meraup keuntungan dan menciptakan kasta-kasta dalam pendidikan dan serta tidak egaliter.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar